Selasa, 08 Februari 2011

Kalau

Author: Deisya Rasikania

Tiap orang punya harapan. Tiap orang punya cita-cita. Tapi hanya waktu yang bisa menjawab semuanya. Sementara saat ini, “kalau” adalah ungkapan yang tepat untuk menggantung harapan. Sering sekali aku mendengar orang berandai-andai dengan menyerahkan nasib pada ”kalau”. 

        “Kalau aku punya uang banyak, akan kubeli warung nasimu ini”, kata Bang Kardi yang selalu nge-bon di warung Mbok Min.
         ”Kalau semua dagangan terjual, besok aku mau cuti jualan sayur”, kata Mang Jarwo kepada ibu-ibu yang mengelilingi gerobak sayurannya tadi pagi.
         ”Kalau ayam-ayam itu sudah kau beri makan, kau boleh main ke luar”, kata ibu padaku, dulu, setiap aku merengek ingin bermain di luar.
         ”Kalau jodoh, pasti bertemu lagi”, itu adalah kata-kata favorit yang selalu diucapkan orang-orang waktu berpisah.

     Aku juga mungkin tidak akan bertemu dengan Kiran kalau bukan karena jodoh. Dia adalah mahasiswi yang kost di daerahku. Arah kampus kami sama sehingga hampir tiap hari aku bertemu dengannya di halte sampai akhirnya kami pun menjadi akrab. Mungkin kalau aku tidak mendapat beasiswa atas prestasiku, aku tidak akan melanjutkan ke perguruan tinggi dan tidak akan bertemu dengannya. Semua ini tidak akan terjadi kalau bukan karena kebetulan atau takdir.
     Keadaan di sekitarku memang penuh dengan pengandaian. Dimulai dari tempat tinggal sederhana yang atapnya selalu bocor ketika hujan. Ayahku selalu menjanjikan akan memperbaiki atap tersebut kalau sudah gajian di awal bulan. Kenyataanya, kalau adalah iming-iming pengantar janji karena masih banyak kepentingan lainnya yang harus dipenuhi.

      ”Kalau sudah gajian..”, itu mungkin kata-kata favorit ayahku yang hanya seorang guru Sekolah Dasar untuk meredakan rengekan lima orang anaknya jika menginginkan sesuatu.
     Sama halnya dengan ibu yang selalu meredakan rengekan anak-anakya dengan iming-iming yang diawali dengan kalau.
      ”Kalau ayam-ayam ini sudah bertelur, kamu boleh minta dibelikan sepatu”, kata ibu yang jika ayam-ayam kami bertelur akan dijual di pasar.
    Itulah susahnya punya saudara banyak dan semuanya masih bersekolah sedangkan pendapatan sangat pas-pasan. Hanya aku sebagai anak tertua yang sudah menyelesaikan pendidikan sampai kuliah sambil membantu keluarga dengan mengurus ayam-ayam di rumah. Dari kecil, aku memang sudah mengurusi ayam yang mulanya hanya dua ekor, jantan dan betina. Sekarang, ayam-ayam itu sudah banyak, sekitar lima puluh ekor.
     Seiring dengan bertambahnya ayam-ayam peliharaanku, keuangan kami pun semakin membaik. Tetapi, manusia memang tidak pernah merasa puas. Ada saja yang kurang dan dikeluhkan.

     ”Coba kalau tidak ada wabah virus flu burung, ayam-ayam kita pasti sudah banyak ya, mas”, kata Daus, adik pertamaku.
    Beberapa bulan yang lalu, sekitar  dua puluh ayam milikku dibasmi oleh petugas dari dinas kesehatan karena dicurigai terkena virus flu burung. Kalau saja penyakit itu memang terbukti menyerang ayam-ayamku, mungkin aku tidak akan menyesalinya.
    Kalau sebagai penyesalan memang sering terdengar. Padahal sesuatu yang sudah terjadi tidak mungkin diulang lagi, tetapi kenapa harus dikeluhkan. Kalau hanya jadi kata untuk menutupi kelemahan dan keterbatasan manusia menghadapi suatu masalah.
     ”Enak ya kalau ibu masak rendang terus setiap hari”, lamunanku buyar oleh suara Budi, adik terkecilku.

     Budi mencomot daging rendang ke atas piringya. Dia adalah adik terkecilku yang masih duduk di kelas 5 SD. Kami sekeluarga sedang berkumpul di meja makan menikmati makan malam. Hanya Rini, adik keduaku, yang tidak terlihat bersama kami.
      Seusai makan, aku berjalan menuju kamar Rini. Pintu kamarnya setengah terbuka.
        ”Kalaulah aku dapat, membaca fikiranmu...”, lagu D’Cinnamons terdngar dari radio di kamarnya.
    Aku tahu, dia pasti sedang memikirkan sesuatu. Aku menghampirinya. Rini duduk di meja belajarnya memandang kosong ke arah radio. Beberapa majalah remaja tergeletak dan terbuka di atas meja.
    ”Ko engga makan?”, tanyaku.
    ”Lagi engga nafsu...”, dia melirikku sebentar.
    “...Takut gemuk”, sambungnya.
    Kuambil majalah yang ada di atas meja dan membuka-buka beberapa lembar halamannya. Beberapa model remaja wanita menghiasi hampir setiap halamannya. Kalau saja majalah-majalah remaja tidak memuat gambar model seperti ini, mungkin imej wanita bertubuh ideal seperti ini tidak akan terbentuk dalam benak Rini.
     Semuanya kembali pada kata kalau. Tetapi, jika tidak ada kata kalau, mungkin hidup ini tidak ada seninya. Semuanya mengalir datar sesuai keinginan empunya. Tidak ada harapan, cita-cita, impian, atau penyesalan.

***

Matahari belum menampakkan wajah aslinya. Langit masih didominasi warna hitam dengan garis-garis biru dan oranye di ufuk timur. Cahaya-cahaya putih dan kuning masih terpancar dari lampu neon yang terpasang di setiap rumah, tanda bahwa para penghuninya masih terlelap.
    Pagi ini, aku janji akan mengantarkan Kiran ke Terminal. Dia akan pulang ke rumah orang tuanya karena kuliahnya telah selesai.
    ”Mudah-mudahan saja aku dapat panggilan kerja di sini, jadi bisa kembali lagi secepatnya”, Kiran menghiburku.
    Ya, hanya waktu yang bisa menjawab perkataannya. Aku diam saja, entah kenapa rasanya pertemuan berikutnya tak lebih dari pengandaian.
    Kalau jodoh, pasti akan bertemu lagi. Kata-kata itu terngiang di telingaku, menusuk-nusuk dan terdengar klise. Saat ini aku telah menggantungkan harapanku pada sebuah kata, kalau. Tetapi, satu yang kuyakini, kalau Tuhan pasti mendengar doaku.



Tempo, 28 November 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar