Selasa, 08 Februari 2011

Pesawat Terbang

Author : Deisya Rasikania


      Aku berdiri di balkon kamar sambil memandang ke atas, agak cepat dari biasanya aku berdiri disini. Matahari baru saja tenggelam, bintang-bintang bertaburan ditemani sebuah lingkaran besar berwarna putih keemasan yang menghiasi langit. Pemandangan seperti itu menandakan bahwa malam ini akan cerah. Dalam hati, aku bersyukur karena yang kutunggu pasti akan datang.
      Sebuah titik kecil berkelap-kelip sedang bergerak di angkasa. Ini dia yang sedari tadi kutunggu, sebuah pesawat terbang. Pesawat itu bergerak perlahan membelah langit dengan kelap-kelip lampunya yang berwarna merah.
      Sesaat kucoba membayangkan apa yang ada dalam pesawat itu, mungkin di sana deretan orang sedang duduk rapi pada kursinya yang nyaman kemudian beberapa pramugari cantik mengantarkan hidangan yang lezat. Bisa saja dalam pesawat yang kulihat sekarang juga terdapat adegan dimana seorang wanita sedang memuntahi pangkuan seorang aktor seperti dalam adegan drama Korea. Bayangan demi bayangan tentang isi pesawat berkelebat dalam kepalaku, tapi yang pasti mereka sedang menuju ke tempat yang sama dengan perasaan yang berbeda. Entah senang akan datang ke kampung halaman atau malah sedih karena meninggalkan kampung halaman.
      Seperti apakah rasanya naik pesawat terbang? pasti menyenangkan bisa terbang. Hal itu yang selalu aku tanyakan setiap ayah pulang dari tugasnya ke luar kota.
        ”Makanan seperti apa yang disajikan para pramugari itu, yah?”,
tanyaku suatu hari. Atau beberapa pertanyaan seperti,
        ”Berapa lama pesawat harus terbang?”
        ”Kursinya empuk tidak?”
        ”Apakah naik pesawat itu bisa bikin muntah seperti Han Ji Eun?”
        ”Mengalir kemana air dari kakus pesawat, yah?”
      Aku melambaikan tangan, berharap ada yang melihatku dari jendela-jendela kecilnya di atas. Tentu saja tidak mungkin, tapi setidaknya aku tak seaneh orang yang suka berteriak ke arah pesawat, ”Minta Duiiiiiiiit!” Kupikir adegan pesawat membuat hujan uang hanya ada dalam permainan Pizza Frenzy.
     Kuletakkan kedua tangan di pagar balkon sambil memejamkan mata. Aku berdoa semoga pesawat ini sampai tujuan dengan selamat kemudian mengucapkan beberapa harapan dalam hati. Kebanyakan orang akan berdoa ketika melihat bintang jatuh yang sebenarnya hanya benda kecil angkasa. Make a wish, kata mereka. Tapi lain denganku, make a wish hanya berlaku ketika pesawat sedang terbang. Benda jatuh menurutku bukan sesuatu yang menyenangkan, tapi sebaliknya, sesuatu yang diterbangkan ke angkasa rasanya seperti melambungkan sebuah mimpi.
      Kadang-kadang bila langit sedang kelabu dan menumpahkan limpahan airnya, aku berdoa semoga langit tidak marah dengan mengeluarkan cambuk-cambuk apinya dan kembali berwarna biru supaya orang-orang yang sedang melambungkan mimpinya bisa terbang dengan selamat. Tetapi, bila benda-benda langit favoritku ini sedang berlaku buruk dengan membuang bahan peledak di sembarang tempat atau menyenggol raksasa pencakar langit, aku merasa cambuk api di langit pantas untuk menegur benda angkuh yang sedang terbang itu.
     Aku seolah sudah tahu jadwal pesawat terbang, setiap pulang sekolah dan setelah makan malam adalah waktu untuk mendongakkan kepala ke arah langit. Di siang hari aku bisa melihat bentuk pesawat dengan jelas, sedangkan malam hari hanya kelap-kelip lampu kemerahannya yang terlihat. Itulah perbedaan yang kutangkap, mungkin lain ceritanya dengan orang yang benar-benar naik pesawat terbang. Waktu kecil, tetanggaku yang suka naik pesawat pernah berkata, ”Bedanya naik pesawat siang dan malam itu, kalau malam lebih enak soalnya kita bisa lihat bintang-bintang dari atas tapi kalau siang rasanya panas..sekali karana lebih dekat dengan matahari”.
     Naik pesawat terbang akhirnya menjadi obsesiku, sampai-sampai aku pernah bercita-cita jadi pramugari. Namun, niat itu kuurungkan semenjak berita tentang jatuhnya pesawat terbang berturut-turut muncul di televisi lagipula saat itu aku sudah besar dan sadar kalau tinggi badanku tidak memenuhi persyaratan.
      Sebenarnya aku sudah pernah menaiki pesawat terbang tapi aku malas mengakuinya. Ketika itu aku akan kembali ke kampung halamanku di Bogor dari Kupang. Ayahku mungkin ingin sesekali mengajak kami naik pesawat terbang karena biasanya kami pergi dengan kapal laut. Saat itu aku merasa rasa penasaranku akan terobati. Namun, diluar dugaan pesawat yang kutumpangi ternyata jauh dari bayangan indahku tentang deretan kursi empuk dan pramugari-pramugari yang cantik. Boro-boro disediakan hidangan lezat, kami saja membawa rantang makanan. Pesawat yang kutumpangi adalah pesawat Hercules milik TNI-AU. Pesawat ini cukup lebar dengan kursi penumpangnya yang berhadap-hadapan, orang-orang duduk tak beraturan, ada yang di kursi, ada juga yang menggelar tikar. Para penumpang tidak terlihat bergaya seperti yang kulihat di televisi saat akan menaiki pesawat berkelas. Di antara mereka bahkan ada yang membawa ayam jago lengkap dengan kurungannya. Aku depresi, mungkin ini peswat Nabi Nuh.
      Bisa terbang itu adalah impianku sejak kecil. Setelah dewasa, aku sadar aku bukanlah seorang Wonder Woman yang bisa terbang. Maka aku memutuskan bahwa impianku adalah naik pesawat terbang, bukan Hercules tentunya. Dan sebentar lagi, impianku akan tercapai.
     Tak terasa aku berdiri di balkon, sedang langit semakin gelap, seseorang memanggilku untuk keluar. Dengan tergesa sambil menyunggingkan senyum aku menghampiri ibu. Sebuah koper dan tas tangan sedang dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Hari ini aku akan berangkat melanjutkan sekolah ke negeri jiran. Aku lalu berpamitan pada kedua orang tuaku dan segera meluncur ke suatu tempat. Bandara Soekarno-Hatta.
      Ketika melangkahkan kaki melewati koridor yang terhubung langsung ke pintu pesawat, perasaanku berdebar tak menentu antara senang dan juga takut. Mungkin inilah rasanya ketika orang sudah terlalu lama memendam impian dan impian itu sekarang ada di depan mata.
     Pesawat telah mengudara. Aku mengambil tempat dekat jendela, tak mau menyia-nyiakan kesempatan pertama ini. Kulihat lampu-lampu bertebaran di bawah seperti butiran-butiran emas, ramai sekali, tak mau  kalah dengan bintang-bintang di langit. Bintang-bintang di bawah sanalah yang mungkin dimaksudkan tetanggaku dulu. Mungkin sekarang aku sedang menumpangi pesawat yang setiap malam kulihat. Adakah dibawah sana orang yang sedang memandang ke langit? Merindukan orang-orang yang sedang melambungkan mimpinya. Merindukan mimpinya untuk ikut terbang bersamaku. Kupejamkan mata dan berdoa, mimpi itu pasti akan terlaksana.



Bogor, 13 April 2008

Kalau

Author: Deisya Rasikania

Tiap orang punya harapan. Tiap orang punya cita-cita. Tapi hanya waktu yang bisa menjawab semuanya. Sementara saat ini, “kalau” adalah ungkapan yang tepat untuk menggantung harapan. Sering sekali aku mendengar orang berandai-andai dengan menyerahkan nasib pada ”kalau”. 

        “Kalau aku punya uang banyak, akan kubeli warung nasimu ini”, kata Bang Kardi yang selalu nge-bon di warung Mbok Min.
         ”Kalau semua dagangan terjual, besok aku mau cuti jualan sayur”, kata Mang Jarwo kepada ibu-ibu yang mengelilingi gerobak sayurannya tadi pagi.
         ”Kalau ayam-ayam itu sudah kau beri makan, kau boleh main ke luar”, kata ibu padaku, dulu, setiap aku merengek ingin bermain di luar.
         ”Kalau jodoh, pasti bertemu lagi”, itu adalah kata-kata favorit yang selalu diucapkan orang-orang waktu berpisah.

     Aku juga mungkin tidak akan bertemu dengan Kiran kalau bukan karena jodoh. Dia adalah mahasiswi yang kost di daerahku. Arah kampus kami sama sehingga hampir tiap hari aku bertemu dengannya di halte sampai akhirnya kami pun menjadi akrab. Mungkin kalau aku tidak mendapat beasiswa atas prestasiku, aku tidak akan melanjutkan ke perguruan tinggi dan tidak akan bertemu dengannya. Semua ini tidak akan terjadi kalau bukan karena kebetulan atau takdir.
     Keadaan di sekitarku memang penuh dengan pengandaian. Dimulai dari tempat tinggal sederhana yang atapnya selalu bocor ketika hujan. Ayahku selalu menjanjikan akan memperbaiki atap tersebut kalau sudah gajian di awal bulan. Kenyataanya, kalau adalah iming-iming pengantar janji karena masih banyak kepentingan lainnya yang harus dipenuhi.

      ”Kalau sudah gajian..”, itu mungkin kata-kata favorit ayahku yang hanya seorang guru Sekolah Dasar untuk meredakan rengekan lima orang anaknya jika menginginkan sesuatu.
     Sama halnya dengan ibu yang selalu meredakan rengekan anak-anakya dengan iming-iming yang diawali dengan kalau.
      ”Kalau ayam-ayam ini sudah bertelur, kamu boleh minta dibelikan sepatu”, kata ibu yang jika ayam-ayam kami bertelur akan dijual di pasar.
    Itulah susahnya punya saudara banyak dan semuanya masih bersekolah sedangkan pendapatan sangat pas-pasan. Hanya aku sebagai anak tertua yang sudah menyelesaikan pendidikan sampai kuliah sambil membantu keluarga dengan mengurus ayam-ayam di rumah. Dari kecil, aku memang sudah mengurusi ayam yang mulanya hanya dua ekor, jantan dan betina. Sekarang, ayam-ayam itu sudah banyak, sekitar lima puluh ekor.
     Seiring dengan bertambahnya ayam-ayam peliharaanku, keuangan kami pun semakin membaik. Tetapi, manusia memang tidak pernah merasa puas. Ada saja yang kurang dan dikeluhkan.

     ”Coba kalau tidak ada wabah virus flu burung, ayam-ayam kita pasti sudah banyak ya, mas”, kata Daus, adik pertamaku.
    Beberapa bulan yang lalu, sekitar  dua puluh ayam milikku dibasmi oleh petugas dari dinas kesehatan karena dicurigai terkena virus flu burung. Kalau saja penyakit itu memang terbukti menyerang ayam-ayamku, mungkin aku tidak akan menyesalinya.
    Kalau sebagai penyesalan memang sering terdengar. Padahal sesuatu yang sudah terjadi tidak mungkin diulang lagi, tetapi kenapa harus dikeluhkan. Kalau hanya jadi kata untuk menutupi kelemahan dan keterbatasan manusia menghadapi suatu masalah.
     ”Enak ya kalau ibu masak rendang terus setiap hari”, lamunanku buyar oleh suara Budi, adik terkecilku.

     Budi mencomot daging rendang ke atas piringya. Dia adalah adik terkecilku yang masih duduk di kelas 5 SD. Kami sekeluarga sedang berkumpul di meja makan menikmati makan malam. Hanya Rini, adik keduaku, yang tidak terlihat bersama kami.
      Seusai makan, aku berjalan menuju kamar Rini. Pintu kamarnya setengah terbuka.
        ”Kalaulah aku dapat, membaca fikiranmu...”, lagu D’Cinnamons terdngar dari radio di kamarnya.
    Aku tahu, dia pasti sedang memikirkan sesuatu. Aku menghampirinya. Rini duduk di meja belajarnya memandang kosong ke arah radio. Beberapa majalah remaja tergeletak dan terbuka di atas meja.
    ”Ko engga makan?”, tanyaku.
    ”Lagi engga nafsu...”, dia melirikku sebentar.
    “...Takut gemuk”, sambungnya.
    Kuambil majalah yang ada di atas meja dan membuka-buka beberapa lembar halamannya. Beberapa model remaja wanita menghiasi hampir setiap halamannya. Kalau saja majalah-majalah remaja tidak memuat gambar model seperti ini, mungkin imej wanita bertubuh ideal seperti ini tidak akan terbentuk dalam benak Rini.
     Semuanya kembali pada kata kalau. Tetapi, jika tidak ada kata kalau, mungkin hidup ini tidak ada seninya. Semuanya mengalir datar sesuai keinginan empunya. Tidak ada harapan, cita-cita, impian, atau penyesalan.

***

Matahari belum menampakkan wajah aslinya. Langit masih didominasi warna hitam dengan garis-garis biru dan oranye di ufuk timur. Cahaya-cahaya putih dan kuning masih terpancar dari lampu neon yang terpasang di setiap rumah, tanda bahwa para penghuninya masih terlelap.
    Pagi ini, aku janji akan mengantarkan Kiran ke Terminal. Dia akan pulang ke rumah orang tuanya karena kuliahnya telah selesai.
    ”Mudah-mudahan saja aku dapat panggilan kerja di sini, jadi bisa kembali lagi secepatnya”, Kiran menghiburku.
    Ya, hanya waktu yang bisa menjawab perkataannya. Aku diam saja, entah kenapa rasanya pertemuan berikutnya tak lebih dari pengandaian.
    Kalau jodoh, pasti akan bertemu lagi. Kata-kata itu terngiang di telingaku, menusuk-nusuk dan terdengar klise. Saat ini aku telah menggantungkan harapanku pada sebuah kata, kalau. Tetapi, satu yang kuyakini, kalau Tuhan pasti mendengar doaku.



Tempo, 28 November 2008